Home » » Rejeki Soto Batok

Rejeki Soto Batok

Written By Satria Adhi on Tuesday, January 22, 2019 | 1:09 AM

Beberapa bulan lalu, Bapak kena PHK. Mula-mula, Bapak dan Ibu sangat panik, karena tabungan mereka sangat pas-pasan. Padahal abangku yang tertua, Bang Ramli, ingin meneruskan kuliah.



Untunglah Bapak tidak putus asa. Setelah di PHK, Bapak jadi lebih sering keluar rumah. Bahkan pernah hampir dua minggu tidak pulang. Dan saat pulang, Bapak berimbah peluh membawa dua kasung cukup besar. Karena aku penasaran, Bapak segera membuka ikatan karung itu. Oo... ternyata isinya tempurung kelapa. Saat kuamati lebnih jelas, ternyata tempurung itu telah dibentuk menjadi mangkok. Bapak memesannya dari teman yang pengrajin batok kelapa.

"Kita akan buka usaha menjual soto, Mangkoknya dari batok-batok ini!" kata Bapak waktu itu.

Bapak menyuruh Bang Ipan, abangku yang lain, untuk memotong selembar tripleks. Triplek itu dicat putih dan diberi tulisan merah menyala, "KEDAI SOTO BATOK". Lalu dipasang di depan pintu masuk rumah kami. Bapak menyulap halaman kami menjadi sebuah kedai soto.

Hari-hari mulai berjualan tidak begitu lancar. Selalu ada yang sisa. Ibu lalu mengusulkan agar Bapak mengundang tetangga kiri kanan untuk syukuran. Ini kesempatan untuk mempromosikan kelezatan soto buatan Ibu yang dihidangkan dalam mangkok batok. Bapak setuju. Syukuran pun berlangsung dengan meriah.

Setelah syukuran, langganan kami mulai bertambah. Harga soto kami memang tidak mahal. Nasinya memakai beras tumbuk dari desa Bapak. Bapak paling senang jika teman-teman skolah kami datang. Kata Bapak, cerita dari mulut ke mulut bisa menarik teman-teman yang lain untuk datang. Iklan gratis.

Di kedai ini, aku bertugas mencuci mangkok-mangkok batok. Asyik juga memainkan busa sambil mengelus-elus batok gundul. Aku heran, dari mana datangnya ide bagus ini di kepala bapak.

Ada cerita lucu mengenai mangkok batok ini. Pernah seorang ibu yang sedang mengandung merengek-rengek pada suaminya, minta dibelikan mangkok batok dari kedai kami. Bapak mengetahui hal itu.

"Ambillah inim Bu. Tidak usah dibayar", ujar Bapak sambil memberikan sebuah mangkok batok. Betapa girangnya ibu yang sedang mengandung itu.

Berkat kedai soto batok ini, Bang Ramli berhasil meneruskan kuliahnya. Secara bergantian abangku bertugas mengantarkan pesanan orang.

Malam ini, seperti biasa aku mencuci mangkok-mangkok batok kelapa. Setelah mengeringkan tangan, aku bergegas menuju ke ruang depan.

Bang Ramli dan Bang Ipan baru selesai menutup pintu kedai. Kucoba menahan kantukku. Aku sudah berkali-kali menguap. Tapi saat ini kami harus mendengar komentan Bapak tentang pekerjaan kami hari ini. Bapak memang setiap malam selalu mengomentari pekerjaan kami hari itu. Maksudnya, agar kami bisa bekerja lebih baik esok harinya.

"Kamu kurang cekatan tadi!", Bapak mengomentari kerjaku. "Dan Ramli, lain kali lebih cermat menghitung. Jangan kelebihan jika memberi uang kembalian!", tegur Bapak pada Bang Ramli.

Jika Bapak sedang berkomentar, kami semua serius. Kulirik Bapak sejenak. Ada kebanggan menyelinap di dadaku. Bapakku memang seorang pekerja keras. Sebelum kami bubar, Bapak mengizinkan kami melihat sederetan angka sebagai keuntungan hari ini dari buku kumalnya. Ia menyebutnya buku kas. Tapi aku sudah sangat mengantuk. Jadi aku langsung menuju ke kamar tidurku.

Saat berbaring, kupandangi langit-langit kamarku. Tak ada lagi bekas bocor di sana. Bapak sudah memanggil tukang untuk membetulkan atap itu. Lalu kulihat jendela kamarku. Tirainya masih tampak baru. Tadinya Ibu memakai taplak meja lusuh untuk dijadikan penutup jendelaku. Sebagai hadiah ulang tahunku, Ibu menggantinya dengan tirai warna biru muda. Warna kesukaanku. Bapak tak mau kalah. Aku diberinya jam tangan warna biru muda.

Kini kupaksakan diri untuk duduk. Aku ingat Tuhan. Dalam doaku, kupanjatkan beribu syukur pada-Nya. Betapa banyak nikmat yang aku terima dari-Nya. Keadaan kami sekarang jauh lebih baik dibandingkan waktu Bapak kerja di kantor dulu. Malam itu aku tidur sangat nyenyak.

Oleh Daisy Lukman

0 comments:

Post a Comment